Aida dan Gadis Lainnya Menikah Karena Ingin Lahirkan Syuhada
Tak ada pesta dan juga tak ada perayaan, ketika Aida al-Qaddumi akhirnya menikah pada pekan terakhir Januari 2009.
Juga tak ada penyesalan di hati perempuan berusia 22 tahun dari Jalur Gaza itu. Aida mengatakan, ia akan menikah untuk melahirkan “syuhada” dan berharap agar ia dapat meninggal sebagai “syahid” di Israel.
Tiga pekan serangan mematikan Israel ke Jalur Gaza memaksa penundaan pernikahannya, yang semula dijadwalkan 7 Januari, tapi tidak menggeser keinginan Aida.
Meskipun demikian, mempelai wanita itu tetap pergi ke salon kecantikan di kabupaten utama di kota tersebut, Rimal, untuk menata rambutnya dan merias wajahnya bagi hari istimewa itu, Kamis (22/1).
Sang mempelai pria, Fadel al-Ghul, saudara Menteri Kehakiman Hamas Faraj, siap menjemput calon istrinya beberapa jam kemudian.
Kedua orang itu telah sepakat bahwa untuk menghormati orang-orang yang gugur –lebih dari 1.300 orang Palestina dari Jalur Gaza– takkan ada kegembiraan berupa pesta tradisional.
Selain jumlah korban jiwa yang sangat banyak, gedung pernikahan yang disewa untuk pesta juga rata dengan tanah akibat bom Israel, demikian laporan kantor berita Perancis, AFP.
Di salon kecantikan, Aida ditemani oleh beberapa temannya; semuanya mengenakan pakaian muslimah –yang menutup mulai dari kepala sampai kaki mereka– dan mereka duduk tenang di satu sudut salon.
Sang mempelai perempuan mengenakan jubah panjang berwarna putih dengan hiasan kerlap-kerlip berwarna perak, dan wajahnya tertutup cadar.
Dengan suara perlahan, Aida menyatakan, ia bahagia dapat menikah, tapi sedih akibat penghancuran dan korban jiwa.
“Salah seorang teman perempuan saya kehilangan saudara dan beberapa sepupunya. Banyak keluarga kehilangan anak,” kata Aida sebagaimana dilaporkan AFP.
Wilayah Shujaiya, tempat ia tinggal, merupakan salah satu kubu Hamas yang menghadapi serangan sengit tentara Israel. Puluhan orang, banyak di antara mereka warga sipil, gugur dan puluhan rumah hancur.
Sejalan dengan budaya lokal, pasangan baru tersebut hidup di rumah keluarga suami di permukiman Nasser.
“Selama serangan itu, beberapa bangunan di sekitar kami dibom,” kata Aida. “Alhamdulillah, rumah kami tidak kena. Kami hidup dalam ketakutan setiap hari.”
Rujukan agama mengisi percakapannya, dan ketika ditanya apa yang ia harap akan dilakukannya dalam hidupnya, ia hanya berkata, “Hidup saya berada di tangan Allah.”
Namun suaranya meninggi setiap kali berbicara mengenai Israel. “Mereka pembohong semua di Israel,” katanya. “Tak ada senjata di masjid atau di sekolah tapi mereka tetap membom semuanya. Mereka membunuh anak-anak. Dunia menyaksikan gambarnya dan tak berbuat apa-apa.”
Israel menuduh petempur Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) “bersembunyi di antara penduduk sipil untuk menembakkan roket serta menyimpan senjata di masjid”.
Aida mengatakan, anak-anaknya akan dibesarkan untuk melawan Israel dan diajarkan di atas segalanya bahwa satu-satunya jalan yang mungkin ditempuh untuk dapat masuk surga adalah melakukan perlawanan.
Fadel (35) tiba dengan mengenakan pakaian berwarna gelap. Ia bekerja selama beberapa tahun di salah satu perhimpunan utama derma yang didirikan pada 1970-an oleh pendiri Hamas Sheikh Ahmed Yassin.
Memerangi Israel adalah satu kewajiban, kata Fadel. “Kami hidup di sini di tanah kami, tanah perlawanan. Mereka ingin membunuh kami tapi kami akan membunuh mereka lebih dulu.”
“Selama operasi itu mereka telah menghancurkan bangunan, rumah dan masjid, tapi mereka tak berhasil menghancurkan kelompok yang melancarkan perjuangan.”
Uni Eropa dan Amerika Serikat memasukkan Hamas dalam daftar “organisasi teroris” dan menolak berunding dengan kelompok pejuang Palestina tersebut –yang menang dalam pemilihan umum Februari 2006 dengan mengalahkan faksi sekuler dukungan Barat, Fatah, yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas.
No comments:
Post a Comment